Salam Kenal “Mama”
Boleh jadi dalam senyum gadismu terselip aku, atau akulah
dibalik deritanya. Akan ada gelak tawa saat kami bertatap. Memalukan memang,
tapi aku butuh. Dalam tangis pun terkadang ada aku sebagai alasan, entah kenapa
harus aku? Atau memang aku terlahir dalam ketidakpekaan? Atau mutlak harus aku yang
salah, apapun alasannya? Namun berikanlah maaf untuk semua, mama. Untuk aku.
Aku memang belum berjumpa dengan, mama. Namun aku bisa
merasakan betapa besar rasa sayang engkau terhadap dia, dari cara dia
menceritakanmu, bahkan bagaimana dia tubuh menjadi perempuan hebat itu pasti
campur tanganmu kan, mama? Bukankah gadis itu mutiaramu? Aku janji tak
sekalipun aku melukai kesayanganmu itu. Tapi mama percayakan?
Mama yang sedang di kayangan, mama bisa lihatkan dari atas
sana bagaimana aku menyanyanginya? Bukanlah tabir lapisan langit menjadi
penghalang untuk bisa merasakan gejolak ini, mama pasti tahu itu.
Untuk gadismu, aku memang kenal dia, sebagaimana dia juga
mengenal aku. Memang akhir ini kami hanya bertemu satu kali, dan sampai
sekarang pun tak pernah bertemu lagi. Hingga aku kehilangan kabar akan dirinya.
Namun percayalah, ma. Di pertemuan satu kali itulah aku yakin kalau dialah yang
aku butuhkan. Meski kami tak lama bicara, entah kenapa tetap aku yakin kalau
memang terpilih untukku. Sampai sekarang. Aku tak tahu bagaimana dia
menanggapiku, apakah dia mempunyai rasa sama atau tidak, aku tak tahu. Namun aku
yakin kalau dia untukku; kalau dia juga menanti aku.
Hemm.. Begini saja, ma.
Bukanlah saya bersikap lancang atau semena akan pengharapan, tapi agar mama
paham. Izinkanlah saya menjadi penampung dosa anak mama, biarkanlah aku menjadi
imam dalam rukunnya keluarga. Jika mama merestui, saya bersumpah untuk menjadi
suami yang selayaknya seorang suami terhadap istri. Akan aku hormati dirinya
sebagai ibu dari anak kami kelak, sebagai pendampingku. Namun jika aku
melanggar, dari kayangan sana mama boleh meminta Tuhan memanggilku. Saat itupun.
Aku harap mama mengerti.