Sabtu, 16 Maret 2013

Sini Sayang! Biarkan Aku Melepas Jilbabmu


“Huu.. Payah. Listik padam lagi, mas”
“Iya nih, padahal kemaren sudah padam, eh hari ini padam lagi”

Sudah dua hari listrik di komple kami pada. Padamnya itu gak nanggung-nanggung. Kayak hari ini, baru juga jam 7 malam sudah padam, mana hidupnya bakalan besok pagi. Gak tahu apa, kalau jam-jam segini orang lagi butuh banget dengan listrik.

Capek, sunyi, dingin serta suasana gelap bercampur jadi satu, membuat gairahku memuncak, apalagi setelah aku melihat istriku yang molek baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang putih mulus, serta postur tubuh yang aduhai semakin membuat birahiku meningkat, apalagi kegelapan ini seakan mengundang setan penggoda. Namun  sebenarnya, aku hanya terduduk diam memandanginya dari ruang tamu.

“kamu masih ‘dapet’ hari ini, dek?” Tanyaku.
“Iya, mas. Baru saja kemarin.” Jawab istriku. “Emang kenapa?” Timbalnya.

“Gak kenapa sih.” Jawabku polos. Sementara Ia menghilang memasuki kamar. Memang desain rumah kami antara kamar mandi dan kamar tidur melewati ruang tamu.

Aku hanya terdiam. Pencahayaan yang minim sekan tidak berpengaruh dengan penglihatanku terhadap tubuh putihnya yang bersinar, yang hanya dibaluti handuk tipis, yang kini hilang menuju kamar tidur.

**

Sepuluh menit sudah istriku berada di dalam kamar tidur, sibuk mencari pakaian yang tepat untuk kegiatanya malam ini. Kalaupun Ia sadar, tidaklah perlu waktu lama hanya untuk memilih pakaian, semua pakaian bakal cocok dengannya, memang dirinya sudah ditakdirkan indah.

Setelah menemukan pakaian yang menurutnya paling tepat, Ia menampakan wajahnya yang cantik di hadapanku. Sementara aku, aku hanya duduk memandanginya dari ruang tamu. Wajahnya yang cantik seakan mengundang seleraku. Tubuh atasnya yang menonjol seakan memancing nafsu birahiku, meskipun sebenarnya ia menggunakan jilbab, namun tonjolan tersebut tidak pernah dia tutupi. Mungkin style sesat  jilbab zaman sekarang.

Sudah setengah tahun istriku menggunakan jilbab, lebih tepatnya setelah kami menikah.

“Mas, aku berangkat kerja dulu.” Izinnya terhadapku. Memang minggu ini dia sedang sibuk-sibuknya. Sudah sepekan ia lembur. Itu dikarenakan pemerintah provinsi ingin merubah kinerja di departemennya agar sesuai pemerintah pusat.

Aku langsung saja berdiri menghampirinya, memegang kedua pundaknya dan menatap matanya dalam-dalam, sembari mendekatkan wajahku ke  wajahnya.

“Mas kenapa sih?” Tanyanya risih.

Aku tidak menjawab sepatah kata-pun, langsung saja aku bawa tubuhnya ke kamar. Dia tidak dapat menolak, mungkin tenagaku yang terlalu kuat atau dia yang terlalu takut membrontak. Aku tutup pintu kamar. Traaak.. pintu aku kunci dan aku sudutkan ia di belakang pintu, tak berdaya.

“Mas! Mas kenapa sih!” tanyanya kesal. “Aku lagi dapet tahu!” Tambahnya sambil gemetar.

Sontak saja aku semakin bergejolak mendengar suaranya yang ketakutan, aku dekatkan tubuh ini dengan tubuhnya. Mungkin tidak sampai beberapa senti aku dapat merasakan lekuk tubuhnya. Aku bisikan sesuatu ke dia. “Diam sebentar” bisikku perlahan.

Aku liat wajahnya yang pasrah, dalam gelap aku tetap merasakan ketakutan yang dia rasakan.

“Mas! Dosa mas, aku lagi halangan, mas! Mas sanggup bayar kifaratnya!”

Dengan lembut dan perlahan, aku lepaskan jilbabnya, jilbab yang tidak menutupi tubuh eloknya, jilbab yang mengundang nafsuku, kini telah aku lepaskan.

Sementara istriku hanya pasrah, lepasnya jilbab tersebut bersamaandengan lepasnya titik air mata. Ia pasrah apa yang akan aku perbuat, ia pasrah dengan dosa yang akan terjadi. Kini ia siap, telah siap sebagai istri.

Ia pejamkan matanya, sementara aku semakin mendekatkan wajah ini dengannya.  Dekat..semakin dekat. Aroma napasnya semakin terasa. Dengan perlahan aku semakin dekat. dan .…



Aku suruh dia membuka matanya, aku berikan dia jilbab sesungguhnya. Lebih tepatnya hijab. Hijab yang menutupi dadanya, hijab yang menutupi punggungnya, hijab yang menutupi kesuciannya dari hal yang hina, hijab yang membuat dia sempurna sebagai muslimah.

Seketika itu ia memasang hijab pemberianku. Wajahnya kini berubah menjadi senyuman. Aku hapuskan air matanya dengan penuh kasih sayang. Seketika itu dia langsung memeluk ku, sebagai rasa terima kasih telah aku imam kan.

Minggu, 10 Maret 2013

Ganbatte Yom! ^_^

Ini kayaknya bukan sesi curhat-curhatan di blog, namun lebih tepatnya mengalihkan sindrom negative ke postif. Loh kok gitu? Yap, semua ini gara-gara nilai blok yang jeblok. Jadi, dari pada saya nangis sambil guling-guling, atau saya marah-marah sampai banting kursi, meja dan banting hati ini ke kamu. Cielaaah. Bukan…bukan. Dari pada merujuk ke hal-hal yang gak berguna kayak gitu, mending gue publish disini, biar ntar kalau sudah berhasil dengan nilai yang mempuni *amin* gue bisa senyum senyum sendiri dengan semua perjuangan ini.


Flashback dulu sebentar, setelah empat blok yang gue jalani. Grafiknya itu mirip kalau kita dari lantai 4 di sebuah mall terus mau turun lantai dasar, bisa dianalogikan tangga lift, menurun, lebih tepatnya kayak escalator yang turun dengan penuh ke-curaman. Tajam dan membunuh.

Satu hal yang aneh sewaktu keluarnya nilai blok 4, gue kagak sedih. Mungki  karena saya mulai menyadari basic pembelajaran di FK, yaitu : artsen, jadi lebih mengutamakan *seni*. Seni dalam skill komunikasi, seni dalam melakukan tindakan, seni dalam mendiagnosis, dan banyak seni tekutip disana.
Banyak faktor yang membuatku bersemangat meski nilai tidak  sesuai dengan apa yang terbayangkan. Pertama gue inga dengan temen gue SMA yang ngemention di twitter kayak gini

“jadilah mahasiswa yang tidak haus akan nilai, tapi jangan sekali-sekali lupa akan sebuah usaha”

Disana gue tahu betul sebuah posisi nilai, tapi semuanya kembali bagaimana cara kita berusaha. Karena nilai besar mungkin memang orang tersebut lebih mudah mengingat atau bagaimana. Namun di lapangan, etika, motivasi, usaha dan skill lah yang menentukan sebuah keberhasilan dari pembelajaran selama ini.


Gue pernah nasehatin teman SMA yang over cleaver. Dulu dia itu kayak ”mendewakan” nilai. Ketika hasil nilai keluar, nilai dia dapat dikategorikan luar biasa.  Bahkan merata di setiap pelajaran. Karena itu, bisa dimaklumi dia mendapat juara umum. Jika para guru meminta dia menjawab soal-soal, dia bisa dikatakan pasti bisa. Berbeda jika dalam peng-aplikasiannya, dia hanya bisa melihat para temannya yang nilai dibawahnya, bisa sukses memenangi lomba, berbaur dengan sekitar, dan bisa memanfaatkan seluruh pengetahuannya kedalam tindakan.

He is so confused, and I say to him “quality is better than quantity”. Aku tahu dia merehmehkan gue saat itu. But, when as a collage. Dia menyadari sesorang itu dilihat dari kualitasnya bukan dari kuantitas yang dia raih.

Faktor kedua karena gue habis baca bukunya dr. andreas Kurniawan, Buku Ajar Koas Racun. Disini tertulis “in school, you’re taught a lesson and then given a test. In life, you’re given a test that teaches you a lesson”. Dengan berbangga hati, gue posisikan diri ini kalau sudah dalam tahap kehidupan, nilai yang buruk sebagai acuan bagaimana saya harus melaju.


Motivasi terakhir kenapa gue gak sedih, karena habis diceramahi dosen. Dia bilang motivasi seseorang itu ada dua, motivasi intristik dan motivasi ektrikstik. Kalau motivasi intristik itu, sesorang itu dapat mengetahui siapa dia dan bakal jadi apa dia nanti, misal gue mahasiswa kedokteran, gue harus tahu kedepan gue mau jadi dokter, terus jadi dokter yang bagaimana, apa yang akan saya bangun, tujuan akhir bagaimana, dan itu tidak ada hubungan sama sekali dengan “nilai”, semua ini berasal dari kemauan diri sendiri. meski nilai jelek, meski lingkungan tidak kondusif, tapi insyaalah bakal tetap terlaksana jika semua motivasi yang konsisten.
amin