Ini
kayaknya bukan sesi curhat-curhatan di blog, namun lebih tepatnya mengalihkan
sindrom negative ke postif. Loh kok gitu? Yap, semua ini gara-gara nilai blok
yang jeblok. Jadi, dari pada saya nangis sambil guling-guling, atau saya
marah-marah sampai banting kursi, meja dan banting hati ini ke kamu. Cielaaah.
Bukan…bukan. Dari pada merujuk ke hal-hal yang gak berguna kayak gitu, mending
gue publish disini, biar ntar kalau sudah
berhasil dengan nilai yang mempuni *amin*
gue bisa senyum senyum sendiri dengan semua perjuangan ini.
Flashback
dulu sebentar, setelah empat blok yang gue jalani. Grafiknya itu mirip kalau
kita dari lantai 4 di sebuah mall terus mau turun lantai dasar, bisa
dianalogikan tangga lift, menurun, lebih tepatnya kayak escalator yang turun dengan penuh ke-curaman. Tajam dan membunuh.
Satu
hal yang aneh sewaktu keluarnya nilai blok 4, gue kagak sedih. Mungki karena saya mulai menyadari basic pembelajaran di FK, yaitu :
artsen, jadi lebih mengutamakan *seni*. Seni dalam skill komunikasi, seni dalam melakukan tindakan, seni dalam
mendiagnosis, dan banyak seni tekutip disana.
Banyak
faktor yang membuatku bersemangat meski nilai tidak sesuai dengan apa yang terbayangkan. Pertama
gue inga dengan temen gue SMA yang ngemention di twitter kayak gini
“jadilah
mahasiswa yang tidak haus akan nilai, tapi jangan sekali-sekali lupa akan
sebuah usaha”
Disana
gue tahu betul sebuah posisi nilai, tapi semuanya kembali bagaimana cara kita
berusaha. Karena nilai besar mungkin memang orang tersebut lebih mudah
mengingat atau bagaimana. Namun di lapangan, etika, motivasi, usaha dan skill
lah yang menentukan sebuah keberhasilan dari pembelajaran selama ini.
Gue
pernah nasehatin teman SMA yang over
cleaver. Dulu dia itu kayak ”mendewakan” nilai. Ketika hasil nilai keluar,
nilai dia dapat dikategorikan luar biasa. Bahkan merata di setiap pelajaran. Karena itu,
bisa dimaklumi dia mendapat juara umum. Jika para guru meminta dia menjawab
soal-soal, dia bisa dikatakan pasti bisa. Berbeda jika dalam
peng-aplikasiannya, dia hanya bisa melihat para temannya yang nilai dibawahnya,
bisa sukses memenangi lomba, berbaur dengan sekitar, dan bisa memanfaatkan
seluruh pengetahuannya kedalam tindakan.
He is so confused, and I say to him
“quality is better than quantity”. Aku tahu dia merehmehkan gue saat
itu. But, when as a collage. Dia menyadari sesorang itu dilihat dari
kualitasnya bukan dari kuantitas yang dia raih.
Faktor
kedua karena gue habis baca bukunya dr. andreas Kurniawan, Buku Ajar Koas
Racun. Disini tertulis “in school, you’re
taught a lesson and then given a test. In life, you’re given a test that
teaches you a lesson”. Dengan berbangga hati, gue posisikan diri ini kalau
sudah dalam tahap kehidupan, nilai yang buruk sebagai acuan bagaimana saya
harus melaju.
Motivasi
terakhir kenapa gue gak sedih, karena habis diceramahi dosen. Dia bilang
motivasi seseorang itu ada dua, motivasi intristik dan motivasi ektrikstik.
Kalau motivasi intristik itu, sesorang itu dapat mengetahui siapa dia dan bakal
jadi apa dia nanti, misal gue mahasiswa kedokteran, gue harus tahu kedepan gue
mau jadi dokter, terus jadi dokter yang bagaimana, apa yang akan saya bangun,
tujuan akhir bagaimana, dan itu tidak ada hubungan sama sekali dengan “nilai”,
semua ini berasal dari kemauan diri sendiri. meski nilai jelek, meski
lingkungan tidak kondusif, tapi insyaalah bakal tetap terlaksana jika semua motivasi
yang konsisten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar