Minggu, 10 Maret 2013

Ganbatte Yom! ^_^

Ini kayaknya bukan sesi curhat-curhatan di blog, namun lebih tepatnya mengalihkan sindrom negative ke postif. Loh kok gitu? Yap, semua ini gara-gara nilai blok yang jeblok. Jadi, dari pada saya nangis sambil guling-guling, atau saya marah-marah sampai banting kursi, meja dan banting hati ini ke kamu. Cielaaah. Bukan…bukan. Dari pada merujuk ke hal-hal yang gak berguna kayak gitu, mending gue publish disini, biar ntar kalau sudah berhasil dengan nilai yang mempuni *amin* gue bisa senyum senyum sendiri dengan semua perjuangan ini.


Flashback dulu sebentar, setelah empat blok yang gue jalani. Grafiknya itu mirip kalau kita dari lantai 4 di sebuah mall terus mau turun lantai dasar, bisa dianalogikan tangga lift, menurun, lebih tepatnya kayak escalator yang turun dengan penuh ke-curaman. Tajam dan membunuh.

Satu hal yang aneh sewaktu keluarnya nilai blok 4, gue kagak sedih. Mungki  karena saya mulai menyadari basic pembelajaran di FK, yaitu : artsen, jadi lebih mengutamakan *seni*. Seni dalam skill komunikasi, seni dalam melakukan tindakan, seni dalam mendiagnosis, dan banyak seni tekutip disana.
Banyak faktor yang membuatku bersemangat meski nilai tidak  sesuai dengan apa yang terbayangkan. Pertama gue inga dengan temen gue SMA yang ngemention di twitter kayak gini

“jadilah mahasiswa yang tidak haus akan nilai, tapi jangan sekali-sekali lupa akan sebuah usaha”

Disana gue tahu betul sebuah posisi nilai, tapi semuanya kembali bagaimana cara kita berusaha. Karena nilai besar mungkin memang orang tersebut lebih mudah mengingat atau bagaimana. Namun di lapangan, etika, motivasi, usaha dan skill lah yang menentukan sebuah keberhasilan dari pembelajaran selama ini.


Gue pernah nasehatin teman SMA yang over cleaver. Dulu dia itu kayak ”mendewakan” nilai. Ketika hasil nilai keluar, nilai dia dapat dikategorikan luar biasa.  Bahkan merata di setiap pelajaran. Karena itu, bisa dimaklumi dia mendapat juara umum. Jika para guru meminta dia menjawab soal-soal, dia bisa dikatakan pasti bisa. Berbeda jika dalam peng-aplikasiannya, dia hanya bisa melihat para temannya yang nilai dibawahnya, bisa sukses memenangi lomba, berbaur dengan sekitar, dan bisa memanfaatkan seluruh pengetahuannya kedalam tindakan.

He is so confused, and I say to him “quality is better than quantity”. Aku tahu dia merehmehkan gue saat itu. But, when as a collage. Dia menyadari sesorang itu dilihat dari kualitasnya bukan dari kuantitas yang dia raih.

Faktor kedua karena gue habis baca bukunya dr. andreas Kurniawan, Buku Ajar Koas Racun. Disini tertulis “in school, you’re taught a lesson and then given a test. In life, you’re given a test that teaches you a lesson”. Dengan berbangga hati, gue posisikan diri ini kalau sudah dalam tahap kehidupan, nilai yang buruk sebagai acuan bagaimana saya harus melaju.


Motivasi terakhir kenapa gue gak sedih, karena habis diceramahi dosen. Dia bilang motivasi seseorang itu ada dua, motivasi intristik dan motivasi ektrikstik. Kalau motivasi intristik itu, sesorang itu dapat mengetahui siapa dia dan bakal jadi apa dia nanti, misal gue mahasiswa kedokteran, gue harus tahu kedepan gue mau jadi dokter, terus jadi dokter yang bagaimana, apa yang akan saya bangun, tujuan akhir bagaimana, dan itu tidak ada hubungan sama sekali dengan “nilai”, semua ini berasal dari kemauan diri sendiri. meski nilai jelek, meski lingkungan tidak kondusif, tapi insyaalah bakal tetap terlaksana jika semua motivasi yang konsisten.
amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar