“Huu.. Payah. Listik padam lagi, mas”
“Iya nih, padahal kemaren sudah padam, eh hari ini padam
lagi”
Sudah dua hari listrik di komple kami pada. Padamnya itu gak
nanggung-nanggung. Kayak hari ini, baru juga jam 7 malam sudah padam, mana
hidupnya bakalan besok pagi. Gak tahu apa, kalau jam-jam segini orang lagi
butuh banget dengan listrik.
Capek, sunyi, dingin serta suasana gelap bercampur jadi
satu, membuat gairahku memuncak, apalagi setelah aku melihat istriku yang molek
baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuhnya yang putih mulus, serta postur
tubuh yang aduhai semakin membuat birahiku meningkat, apalagi kegelapan ini
seakan mengundang setan penggoda. Namun
sebenarnya, aku hanya terduduk diam memandanginya dari ruang tamu.
“kamu masih ‘dapet’ hari ini, dek?” Tanyaku.
“Iya, mas. Baru saja kemarin.” Jawab istriku. “Emang
kenapa?” Timbalnya.
“Gak kenapa sih.” Jawabku polos. Sementara Ia menghilang
memasuki kamar. Memang desain rumah
kami antara kamar mandi dan kamar tidur melewati ruang tamu.
Aku hanya terdiam. Pencahayaan yang minim sekan tidak
berpengaruh dengan penglihatanku terhadap tubuh putihnya yang bersinar, yang
hanya dibaluti handuk tipis, yang kini hilang menuju kamar tidur.
**
Sepuluh menit sudah istriku berada di dalam kamar tidur,
sibuk mencari pakaian yang tepat untuk kegiatanya malam ini. Kalaupun Ia sadar,
tidaklah perlu waktu lama hanya untuk memilih pakaian, semua pakaian bakal
cocok dengannya, memang dirinya sudah ditakdirkan indah.
Setelah menemukan pakaian yang menurutnya paling tepat, Ia
menampakan wajahnya yang cantik di hadapanku. Sementara aku, aku hanya duduk
memandanginya dari ruang tamu. Wajahnya yang cantik seakan mengundang seleraku.
Tubuh atasnya yang menonjol seakan memancing nafsu birahiku, meskipun
sebenarnya ia menggunakan jilbab, namun tonjolan tersebut tidak pernah dia
tutupi. Mungkin style sesat jilbab
zaman sekarang.
Sudah setengah tahun istriku menggunakan jilbab, lebih
tepatnya setelah kami menikah.
“Mas, aku berangkat kerja dulu.” Izinnya terhadapku. Memang
minggu ini dia sedang sibuk-sibuknya. Sudah sepekan ia lembur. Itu dikarenakan
pemerintah provinsi ingin merubah kinerja di departemennya agar sesuai
pemerintah pusat.
Aku langsung saja berdiri menghampirinya, memegang kedua
pundaknya dan menatap matanya dalam-dalam, sembari mendekatkan wajahku ke wajahnya.
“Mas kenapa sih?” Tanyanya risih.
Aku tidak menjawab sepatah kata-pun, langsung saja aku bawa
tubuhnya ke kamar. Dia tidak dapat menolak, mungkin tenagaku yang terlalu kuat
atau dia yang terlalu takut membrontak. Aku tutup pintu kamar. Traaak.. pintu
aku kunci dan aku sudutkan ia di belakang pintu, tak berdaya.
“Mas! Mas kenapa sih!” tanyanya kesal. “Aku lagi dapet
tahu!” Tambahnya sambil gemetar.
Sontak saja aku semakin bergejolak mendengar suaranya yang
ketakutan, aku dekatkan tubuh ini dengan tubuhnya. Mungkin tidak sampai
beberapa senti aku dapat merasakan lekuk tubuhnya. Aku bisikan sesuatu ke dia.
“Diam sebentar” bisikku perlahan.
Aku liat wajahnya yang pasrah, dalam gelap aku tetap
merasakan ketakutan yang dia rasakan.
“Mas! Dosa mas, aku lagi halangan, mas! Mas sanggup bayar
kifaratnya!”
Dengan lembut dan perlahan, aku lepaskan jilbabnya, jilbab
yang tidak menutupi tubuh eloknya, jilbab yang mengundang nafsuku, kini telah
aku lepaskan.
Sementara istriku hanya pasrah, lepasnya jilbab tersebut
bersamaandengan lepasnya titik air mata. Ia pasrah apa yang akan aku perbuat, ia pasrah dengan dosa yang akan terjadi. Kini ia siap, telah siap
sebagai istri.
Ia pejamkan matanya, sementara aku semakin mendekatkan wajah
ini dengannya. Dekat..semakin dekat. Aroma napasnya semakin terasa. Dengan perlahan aku semakin dekat. dan .…
Aku suruh dia membuka matanya, aku berikan dia jilbab
sesungguhnya. Lebih tepatnya hijab. Hijab yang menutupi dadanya, hijab yang
menutupi punggungnya, hijab yang menutupi kesuciannya dari hal yang hina, hijab
yang membuat dia sempurna sebagai muslimah.