Ini adalah
unek-unek gue sejak pertama kali kenal dengan apa yang namanya Surga. Kalo gak
salah sekitaran kelas 2 SD, terus pertanyaan ini pernah muncul lagi saat gue
SMP, muncul lagi saat gue SMA, serta sekarang. Saat gue sudah menginjak bangku
kuliah.
Bukannya gak
percaya dengan apa yang namanya surga dan apa yang namanya neraka, bukan juga
meremehkan ciptaan Yang Maha Kuasa. Namanya juga manusia, selalu tidak puas
dengan apa yang diketahui, selalu ingin mencari dan memastikan semua itu.
Gue ingat
sewaktu kecil, ketika disuruh tidur siang, gue pura-pura tidur sampai mama yang
menemani gue tertidur, lalu gue bangun dan memandangi kaca kamar. Gue liat
sekitaran rumah dari kaca kamar mama, sedangkan mama masih lelap tidur siang di
sampingku. Gue liat teman-temanku main kelereng di depan, terus ada ibu mondar-mandir
di jalan. Para lelaki yang hanya duduk-duduk di depan rumah mereka. Itulah
aktifitas gue sewaktu kecil jika disuruh tidur siang, hanya berdiam memandang
keluar sampai mama terbangun. setiap hari, monoton memang.
Dari sanalah
saya mulai berpikir kalau hidup ini terlalu monoton. Sekolah, pulang, sekolah,
pulang, hanya untuk mendapat ilmu. Ilmu yang diinginkan.
Orang tua
bekerja, pergi ke kantor, pulang ke rumah, berangkat lagi, pulang lagi, hanya
untuk mendapat gaji. Gaji yang diinginkan.
Kita
beribadah, salat, puasa, zakat, salat, puasa, zakat, hanya untuk mendapatkan
surga. Surga yang diinginkan. Memangnya apa istimewanya surga?
Mama, Papa,
Nenek, Kakek, Guruku, bahkan orang terdekatku selalu bilang “Di surga kita akan
mendapatkan apa yang kita inginkan, kita mau ini ada, kita mau itu ada,
semuanya ada”
Dari sanalah
ketakutan gue mulai muncul. Di dunia saja melakukan kerja keras demi apa yang
kita inginkan saja sudah monoton, apa lagi di surga yang semuanya sudah ada.
Gue takut
kalau hidup di surga itu gak ada iramanya,
gue takut hidup di surga itu gak ada warnanya, gue takut di surga itu hidup
hampa. Karena apa? Karena apa yang kita inginkan sudah ada. Gak perlu
capek-capek bekerja untuk mendapat gaji terus baru bisa beli beras, gak perlu
lagi bekerja untuk mendapat gaji terus bisa beli rumah dan sebagainya. Semuanya
sudah ada, tinggal kita pilih saja mau yang mana. Jadi kita hanya menikmati dan mendapatkan semua yang kita inginkan,
selamanya, kekal abadi.
Selamanya
kita menikmati apa yang kita inginkan di surga, selamanya, berarti itu kekal. Kalau
kita mau ini, selama di surga itu bakalan dengan mudah datang kepada kita, kita
mau apa saja dengan mudah akan menjadi milik kita.
Kalau kita
selalu dan selalu hidup abadi di surga, bukankah lama kelamaan kita akan merasa
bosan. Bukankah dalam ilmu ekonomi itu ada istilah yang maknanya tingkat
kepuasaan konsumen terhadap suatu barang atau jasa jika dikonsumsi terus
menerus kelamaan akan menurun. Sedangkan kita di surga kekal, yang berarti
selamanya kita menikamatinya. Berarti akan nada titik jenuh kita terhadap surga,
karena selamanya kita disana. asli, gue takut ketika itu benar-benar terjadi.
Namun
dibalik itu semua, gue akan merubah pola pikir saya mengenai surga jika ada
yang mampu menjawab dengan membuat hati gue puas. Karena gue akui jika ini
salah besar, meski gue gak tahu dimana letak kesalahan gue.
Gue pernah
mengutarakan hal ini kepada mama. Namun bukanlah jawaban yang gue terima,
melainkan isak tangis mama. Mama bilang gue mau meninggal karena membicarakan
hal-hal mengenai tujuan akhir setelah meninggal. Katanya mungkin gue udah punya
feeling duluan mengenai ajal.
Pernah juga
gue nanya sama seorang guru, gue Tanya “Di surga itu ujung-ujungnya membosankan
gak?” Bukan jawaban yang memuaskan didapat. Hanya jawaban yang mengatakan bahwa
di surga gak bakalan membosankan.
Sewaktu
kuliah ini, gue tanya bibik gue yang udah gue anggap kayak orang tua. Namun gue
disangka murtad karena tidak mempercayai kekuasaan Allah. Lah emang gue salah nanya
kayak gitu?
Gue emang
pernah sewaktu kecil mau pindah agama, karena ada satu agama yang mengenal
istilah reinkarnasi. Sehingga gue berpikir kalau gue meninggal entar, hidup gue
gak bakalan monoton, karena gue bakal menikmati hidup sebagai kupu-kupu,
sebagai kucing, dan seluruh binatang bakalan gue rasakan kehidupannya. Karena gue
bakalan reinkarnasi menjadi mereka semua. Namun gue berpikir lagi, ketika
seluruh kehidupan binatang telah gue rasain, gue bakalan jadi apa? lenyap
begitu sajakah? That shit!
Pernah juga
gue gak mau punya agama apa-apa, atheis. Selama seminggu gue secara diam-diam
tidak mempercayaai Tuhan. Entah mengapa, hati ini seperti hampa. Hidup itu
kayak berjalan tapi gak tahu arah, seperti kapal tanpa nahkoda.
Bahkan
sampai ada keajaiban sewaktu itu. Waktu itu gue mainin bensin di bawah rumah
tetangga sebelah, gue masukin bensin ke dalam cawan kecil terus gue bakar.
Namanya juga masih kecil. Jadi apinya besar banget, mungkin setinggi lutut,
mana rumah tetangga itu dari kayu, terus di dekat api itu banyak bekas serutan
kayu bekas di sugu. Asli ketakutan, sampai tanpa pikir panjang gue siram bensin
tadi dengan air. Dan….apinya bukannya mengecil malah membesar setinggi pusar,
parahnya lagi si air mengalir ke serutan kayu tadi, terjadilah api yang besar.
Di sanalah gue ingat kalau ada Tuhan, gue do’a dalam hati sambil berjanji “Ya
Allah, tolong matike apinye Ya Allah, agek kebakaran rumah gede wik ya Allah,
agek aku pecaye kalu Allah tu memang ade”
Sebuah keajaiban
terjadi, datanglah angin yang tidak begitu kencang dan api tadi langsung padam,
bahkan di dalam cawan berisi bensin. Dari sana gue percaya Tuhan itu ada,
percaya Tuhan itu Allah.
Hanya saja,
gue belum mendapat jawaban akan kenikmatan seperti apa yang di ada di surga,
sehingga kita tidak bosan dengan kekekalan di sana. Bukan berarti gue
menginginkan neraka.